Rumah tempat tinggal Minangkabau
disebut sebagai Rumah Gadang (Rumah Besar/Rumah Buranjang). Dikatakan Gadang (besar)
bukan karena fisiknya yang besar melainkan karena fungsinya selain sebagai
tempat kediaman keluarga, Rumah Gadang merupakan perlambang kehadiran satu kaum
dalam satu nagari, serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan seperti tempat bermufakat
keluarga kaum dan melaksanakan upacara. Bahkan sebagai tempat merawat anggota
keluarga yang sakit.
Sumber : http:/
Arsitektur nusantara.com
Arsitektur nusantara berusaha membuat
tinjauan dalam perspektif ilmu arsitektur dengan obyek (salah satunya) adalah
arsitektur tradisional/folk architecture/arsitektur vernakular. Antropologi,
post kolonialisme, dan arsitektur tradisional adalah wilayah pengetahuan
descriptive (penjelasan) bukan prescriptive (resep untuk mendesain). Arsitektur
nusantara tidak membatasi geografis, arsitektur nusantara merupakan perubahan
cara pandang (Dinapradipta, 2006).
Arsitektur nusantara menempatkan
arsitektur tradisional bukan sebagai bendanya tetapi sebagai cara pandang
arsitektur tradisional dari sisi pengetahuan arsitektur (Dinapradipta,2006).
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai Arsitektur Nusantara Minangkabau yang
dilihat dari sisi pengetahuan arsitektur bukan pengetahuan antropologi.
Dalam hal ini yang dibahas adalah arsitektur
rumah tinggal masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau berlokasi di
Sumatra Barat, sebagian daerah pesisir Barat Sumatra Utara, sebagian daerah
propinsi Riau bagian barat, dan sebagian daerah propinsi Jambi bagian Selatan
Barat. Dari cakupan wilayah yang didiami oleh Bangsa Minangkabau tersebut, bisa
dikatakan bahwa Bangsa Minangkabau menempati wilayah yang luas dan menyebar
dari daratan sampai ke pesisir.Tapi asal Bangsa Minangkabau adalah dari
daratan.
Karena itulah maka Arsitektur Nusantara
Minangkabau bisa dikatakan sebagai arsitektur nusantara daratan. Ditinjau dari
bentuk, ukuran, serta gaya pemerintahan Kelarasan 2 dan Gaya Luhak 3, Rumah Gadang mempunyai nama yang beraneka ragam.
Menurut Gaya Kelarasan aliran Koto Piliang, bentuk Rumah Gadangnya diberi nama
Garudo Tabang 4, karena di kedua ujung rumah diberi beranjang (gonjong)5.
Sedangkan Rumah Gadang dari Kelarasan Bodi Caniago lazimnya disebut Garudo
Menyusukan Anak 6. Bangunan tidak beranjung atau berserambi pada bagian kiri
dan kanan bangunan, tetapi pada bagian ujung kiri dan kanan di bawah gonjong
diberi beratap (emper) yang merupakan sayap burung yang sedang mengerami
anaknya. Jika menurut Gaya Luhak, masing-masing Luhak mepunyai gaya dan namanya
sendiri. Rumah Gadang yang merupakan kepunyaan dari Kaum Penghulu Pucuk di
Luhak Tanah Datar dinamakan Gajah.
KARAKTERISTIK DAN STRUKTUR RUMAH
TRADISIONAL MINANGKABAU
Secara garis besar adat minangkabau
terbagi atas 2 keselaran yaitu laras (lareh) Bodi Chaniago dan lareh Koto
Piliang,dimana lareh Bodi Chaniago
dipimpin oleh datuk Perpatih Nan Sabatang sedangkan lareh Koto Piliang dipimpin
oleh datuk Katumanggungan.Tidak hanya kepemimpinan yang berbeda tetapi juga
bentuk rumah gadang dari kedua lareh ini pun ikut berbeda
Karakteristik Rumah Gadang
Struktur rumah tradisional yang terdiri
dari kayu meiliki kemampuan untuk meredam getaran dan guncangan secara efektif,
fleksibel dan juga stabil. Kolom rumah memiliki ikatan antara balok kayu dengan sistem pasak sehingga
tidak memerlukan paku untuk menghubungkan balok-balok kayu. Teknik pasak pada sambungan kayu membuat kayu dapat
bergerak bebas seperti engsel pada jarak tertentu sehingga pada saat terjadi
gempa balok-balok kayu tidak patah.
Struktur Pondasi dan Kolom
Rumah gadang merupakan rumah
tradisional dengan bentukan panggung dimana pondasi rumah tidak ditanam dalam
tanah tetapi diekspos pada permukaan tanah dengan cara menumpukan tiang kolom
pada sebuah batu atau yang kita sebut pondasi umpak.Jarak lantai rumah dengan
lantai luar sekitar 1-2 meter sehingga diperlukan tangga sebagai akses masuk
rumah. gudang luar untuk menyimpan peralatan bercocok tanam ataupun kayu-kayu
bakar.
Sistem Struktur Atap
Konstruksi atap rumah gadang
menggunakan balok-balok pengikat
tiang,diatasnya disusun gording gording yang
lengkung mengikuti bentuk atap rumah gadang lalu dipasang reng banmbu yang
diikat menggunakan rotan . Sistem ikatan pada struktur atap dan juga sambungan
kayu yang tidak kaku membuat rumah gadang lebih fleksibel dan memiliki toleransi
tinggi terhadap gempabumi
sumber : arsitekturminangkabau.com
ASAL USUL KEBUDAYAAN
MINANGKABAU
Berdasarkan historis, budaya
Minangkabau berasal dari Luhak Nan Tigo, yang kemudian
menyebar ke wilayah rantau di sisi barat, timur, utara dan selatan dari Luhak
Nan Tigo.[2] Saat ini wilayah budaya Minangkabau meliputi Sumatera
Barat, bagian barat Riau (Kampar, Kuantan Singingi, Rokan Hulu), pesisir
barat Sumatera Utara (Natal, Sorkam, Sibolga, dan Barus), bagian barat Jambi (Kerinci, Bungo), bagian utara
Bengkulu (Mukomuko), bagian barat
daya Aceh (Aceh Barat Daya, Aceh
Selatan, Aceh
Barat, Nagan
Raya, dan Kabupaten Aceh Tenggara), hingga Negeri
Sembilan di Malaysia.
Budaya Minangkabau pada mulanya
bercorakkan budaya animisme dan Hindu-Budha.Kemudian sejak
kedatangan para reformis Islam dari Timur
Tengah pada akhir abad ke-18, adat dan budaya
Minangkabau yang tidak sesuai dengan hukum
Islam dihapuskan. Para ulama yang dipelopori
oleh Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik, mendesak Kaum Adat untuk mengubah pandangan budaya Minang yang sebelumnya
banyak berkiblat kepada budaya animisme dan Hindu-Budha, untuk berkiblat kepada
syariat Islam. Budaya
menyabung ayam, mengadu kerbau, berjudi, minum tuak, diharamkan dalam pesta-pesta
adat masyarakat Minang.
Reformasi
budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang
Padri yang berakhir pada tahun 1837.Hal ini
ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh
adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai).Mereka bersepakat untuk mendasarkan
adat budaya Minang pada syariat Islam. Kesepakatan tersebut tertuang dalam adagium Adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai.(Adat
bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran).
Sejak reformasi budaya dipertengahan
abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau
berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, selain surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk
tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji,
mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak
silat. Rumah Gadang Luhak Agam merupakan
kepunyaan Kaum Penghulu Andiko (yang memerintah) dinamakan Serambi Papek
(Serambi Pepat) yang bentuknya bagai dipepat pada bagian kedua ujung
bangunannya.Sedangkan modelnya adalah Rumah Gadang di bawah gonjong pada kedua
ujungnya diberi ber emper dengan atap, karena Luhak tersebut menganut Kelarasan
Bodi Coniago.
Rumah Gadang Luhak Limopuluh Koto
disebut dengan Rajo Babandiang9 yang bentuknya seperti rumah di Luhak Tanah
Datar yang tidak mempunyai dan memakai Anjuang pada kedua ujung bangunan atau
tidak mempunyai lantai yang ditinggikan pada kedua ujung bangunannya.
BUDAYA MASYARAKAT
MINANGKABAU DALAM MEMBANGUN RUMAH
sumber : arsitekturminangkabau.com
BUDAYA MASYARAKAT MINANGKABAU
DALAM MEMBANGUN RUMAH
TUO ( Musyawarah )
Langkah atau
tahap pertama dari proses membangun adalah proses pertapakan, yaitu proses di
mana sebuah tapak ditetapkan, termasuk di sini adalah penetapan tempat-tempat
yang akan diperuntukkan bagi berdirinya bangunan-bangunan (Prijotomo, 1995).
Hal pertama dari penentuan tapak adalah mendefinisikan area of ground.Maksud
dari area of ground adalah identifikasi tipe-tipe tempat.Bisa saja tempat itu
sempit, atau bisa juga sangat luas. Bukan hanya butuh bentuk yang persegi
empat, tapi juga yang lain (Unwin, 1997). Dengan mengidentifikasi tempat
terlebih dahulu, maka akan dapat ditentukan mana tempat yang sesuai untuk suatu
bangunan, sehingga tidak terjadi kekeliruan dalam pembangunan nantinya.
Dilihat dari segi kepentingan satu-satu
dan kepentingan tidak rusaknya adat. Misalnya ketentuan adat mengatakan bahwa
mendirikan Rumah Gadang pada suatu tempat tertentu atau komunitas tertentu
memiliki peraturan yang berbeda dengan tempat dan komunitas lain dalam
menentukan bentuk dan ukuran serta gonjong Rumah Gadang tersebut. Rumah Gadang
bergonjong empat dan selebihnya, hanya boleh didirikan pada perkampungan yang
berstatus Nagari atau pusat Nagari atau komunitas yang disebut dengan Koto. Di
perkampungan yang lebih kecil seperti Dusun 10
atau yang lainnya hanya boleh mendirikan Rumah Gadang yang bergonjong
dua. Sedangkan pada komunitas yang disebut dengan Taratak 11 tidak boleh didirikan rumah yang bergonjong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar